Dalam buku
saku filsafat islam, Haidar Bagir membagi aliran-aliran filsafat islam menjadi
lima aliran diantaranya: pertama,
teologi dialektik (Ilmu Kalam);
kedua, peripatetisme (Masysya’ Iyyah);
ketiga, Illuminisme, (Isyraqiyyah); keempat, sufisme/Teosofi (Tasawwuf
atau ‘irfan); kelima, Filsafat
Hikmah, (Alhikmah Al-Mut’aliyyah).
Sesungguhnya,
ada dua aspek untuk membedakan kelima aliran-aliran tersebut. Pertama, dari
epistimologinya dan kedua, dari ontologinya. Epistimologi yang di gunakan dalam
peripatetisme dan teologi dialektik hampir sama yaitu metode diskursif-logis hanyasaja teologi
dialektik atau ilmu kalam berangkat dari kebenaran agama lalu kemudian mencari
premis-premis untuk membuktikan kebenaran tersebut. Sedangkan peripatetisme
berangkat dari kebenaran yang bersifat umum kmudian mendemonstrasionalkannya.
Adapun
metode yang digunakan illuminisme dan sufisme atau teosofi (‘irfan) adalah
metode intuitif atau experiensial, yaitu mengetahui seuatu adalah untuk
memperoleh suatu pengalaman tentannya, kemudian di analisis dengan
diskursif-demonstrasional. Bahkan dalam filsafat hikmah pengalaman intuitif itu
memang sutu keharusan untuk di diskirsif-logiskan guna verifikasi pubik.
Untuk
peripatetisme dan taswuf, kedua aliran ini belum sampai pada pembahsan ontologi
hanya saja dalam peripatetisme pembahasannya lebih di tekankan pada kosmologi
dan emanasi sebagai basisnya. Sedang
untuk irfan meggunakan ungkapan kesatuan atau hirarki wujud dalam ontologinya.
Berbeda dengan illuminisme yang mengidentkan cahaya sebagai gambaran wujud, Dan
prinsipialitas, kesatuan dan ambiguitas wujud untuk ontologi dalm filafat
hikmah.
Akhirnya,
untuk lebih memperjelas pemahaman kita tentang aliran-aliran filsafat maka akan
dibahas secara mendalam, akan tetapi hanya berkisar pada tiga aliran seperti
yang tertulis dibawah ini:
1.
Peripatetisme
(Masysya’ Iyyah)
Peripatetisme
adalah aliran filsafat yang bersifat Aristotelian dengan diskursif-demonstrasional
sebagai ciri utamanya. Asal kata peripatetisme ini bermula dari kebiasaanya Plato gurunya Aristoteles yang sering kali berjalan mondar mandir (peripatos:
bahasa Yunani) ketika mengajar dan diikuti terus oleh murid-muridnya, sehingga
kemudian disebut sebagai filsafat peripatetisme. Sedangkan kata masyaiyah diambil dari kata dalam bahasa Arabnya.
Pada
perkembangan berikutnya, pemikiran aliran ini ternyta selain sebagai
pemikirannya Aristoteles (aristotelian) sekaligus pemikirannya plotinus dalam
karyanya ennead yang disalahpahami
sebagai karyanya Aristoteles. Namun dari kesalahpahaman tersebut ada
keuntungan tersndiri bagi umat islam karna filsafat yang di kembangkan oleh
Plotinus cenderung bersifat religius dan spiritual keagamaanya tinggi, hal ini
bisa dibuktikan dengan konsep ketuhanannya (The
One) jadi sejalan dengan pemahaman umat islam. Ia juga membawa konsepnya
emanasi yang belakangan digunakan oleh para filosof islam.
Tokoh
filsafat islam yang identik dengan peripatetisme adalah Al-Kindi, Al-Farabi,
Ibnu Sina dan lain-lain dan mereka menghasilkan pemikiran yang berbeda-beda contohnya
Ibnu Sina dengan konsep emanasinya yang menjadi basis kosmologi yang Tuhan yang
tunggal di identikan sebagai Intelek yang memancarkan atau beremanasi menjadi
intelek dua, begitu seterusnya sehingga
terciptakanya berbagai materi yang ada di alam semesta ini.
2.
Filsafat
Illuminisme (Israqiyyah)
Illuminisme
adalah suatu pencerahan intelektual atau spiritual, biasanya dijabarkan sebagai
suatu pemahaman yang datang secara tiba-tiba dan juga merupakan aliran filsafat
yang di kenalkan pertama kali oleh Suhrawardi.
Sebelumnya,
pemikiran Suhrawardi ini tidak terlalu di kenal apalagi di belahan Barat sana.
Namun atas jasanya Hanri Corbin seorang orientalis yang memfokuskan penelitian
pada Suhrawardi, akhirnya karyanya di publikasikan dan pemikirannya Suhrawardi
dapat di kenal.
Suhrawardi
mengatakan bahwa perinsip filsafat israqiyyah adalah mendapat pengalaman
melalui pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasikan dan memferifikasikannya
secara logis-rasiona.[1]
Dalam filsafat emanasi setiap tingkatan di identikan dengan intelek maka dalam
filsafat israqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut di identikan denagn cahaya
(Nur).
3.
Filsafat
hikmah.
Filsafat hikamah
bisa disebut sebagi filsafat islam yang sesungguhnya atas jasanya Sadra yang
telah memperkenalkan aliran ini. Lalu pertannyaanya kemudian kenapa ada
anggapan bahwa filsafat hikmah bisa di sebut sebagai filsafat isalm yang
sesungguhnya. Mungkin jawabanya simpel karna Mulla sadra telah mampu
menginkomporasikan pemikiran-pemikiran sintetik dengan Al-Qur’an dan hadis yang
posisinya sebagi sumber dari segala sumber hukum islam.
Setelah
sebelumnya filsafat isalm taklagi dikenal pasca Ibnu Rush namun kemudian
Suhrawardi dengan illuminismenya dan
Mulla Sadra dengan “Teosofi Transenden” telah memberikan konstribusi
terbaru pada filsafat islam. Ciri dari
aliran ini hampir sama dengan yang lainnya yaitu menggunakan intuisi
sebagai basis efistimologinya, namun intuisi disini lebih ditonjilkan bahkan
bisa disebut sebagai satu-satunya daya untuk mencapai ilmu pengetahuan dan utuk
menyampaikannya pada publik ia melakukan verifikasi secara
diskursif-demonstrasional.
Bagus dan padat si................tapi kurang banyak materinya
BalasHapus