Senin, 31 Desember 2012

Kumpulan Tulisan Filsafat Islam

Mengenal Konsep Nubuwwah (Kenabian)  dalam Berbagai Pandangan                 
   *(Ocoh Adawiyah Aqidah dan Filsafat)

Nubuwwah (Kenabian) merupakan isu yang jarang diperdebatkan dikalangan umum. Namun teori kenabian dalam Islam telah sejak lama menjadi bahan perdebatan yang sangit dan belum berhenti sampai saat ini. Apalagi belakangan bermunculan orang yang dengan gamblang mendeklarasikan dirinya sebagai Nabi. Semudah itukah menjadi seorang Nabi? Dalam kaitannya dengan hal tersebut,  tulisan ini akan dibahas secara singkat mengenai teori atau konsepsi kenabian ditilik dari segi filsafat maupun dari segi teologi
.
Kata ”nubuwah” disebutkan dalam Al-Qur,an sebanyak 5 kali di beberapa surat. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nabi adalah orang yg menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan nabi. Jika di tinjau dari segi sosiologis, kenabian merupakan jembatan teransisi dari  masa primitif menuju masa rasioner. Karena kedatangan seorang Nabi dalam hal ini selalu muncul di tengah-tengah masyarakat yang akhlaknya bobrok dan tak bermoral lalu kemidian muncul Nabi sebagai penerang dan utusan Tuhan yang mengarahkan pada jalan menyembah Tuhan. Menurut pandagan teologi Nabi adalah wajib adanya dan setiap umat islam harus mengimaninya.

Dalam ranah filsafat, teori kenabian memang dijadikan sebagai satu pembahasan penting. Bahkan dengan tegas fazlul Rahman mengatakan bahwa ciri yang paling urgen dalam filsafat islam adanya filsafat kenabian. Seperti al-Farabi mengkonspsikan nabi dalam sebuat tidak lepas dari unsur psilologis, metafisik, politis dan lain-lain. Ia menggambarkannya dengan kota idea sebuah kota (madinah) yang sangat teratur dan selaras. Dan pemimpin dalam hal ini nabi, mereka dapat berhubungan langsung dengan akal aktif. Dan paran Nabi ini mempunyai daya imaji yang kuat sehingga mereka dapat menerima wahyu. 

Seperti halnya al-Farabi, Ibnu Sina  dalam menjelaskan teori kenabian dia terpengaruh oleh konsepnya al-Farabi dengan  membagi akal manusia menjadi empat macam yaitu akal materil, intelektual, aktual dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal terendah adalah akal materiil. Dan adalalanya Tuhan menganugrahkan kepada kepada manusia akal materiil yang bersar lagi kuat, yang Ibnu Sina dibeeri nama al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya,sehungga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal akif dan dengan mudah dapat cahaya dan wahyu dari Tuhan. Akal seperti ini dapat mempunyai daya suci.inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi. 

Telah kita ketahi dari paparan di atas, bahwa tidak semua orang dapat  menjadi nabi hanya orang-orang tertentu saja piliha-Nya. Ada beberapa syarat kenabian. Pertama, menurut para ulama ahlusunnah waljama’ah nabi harus seorang laki-laki (Al-Anbiya: 7). Kedua, mendapat makrifat atau pengetahuan dari Tuhan yakni berupa wahyu. Ketiga, terpelihara dari perbuatan salah dan Allah pula menjaga seorang nabi dari perbuatan maksiat. Sedang menurut al-Farabi, seorang nabi harus mempunyai daya imajinasi yang tinggi, Dan lain-lain.

Dan untuk menanggapi berbagai penomena nabi palsu yang belakangan marak di beberapa negara termasuk Indonesia, Sebetulnya tidak perlu dirisaukan karena nabi Muhammad sendiri telah meramalkan bahwa dikemudian hari akan hadirnya penomena seperti itu. Dan sebetulnya sudah terjadi sejak masa sahabat, Musailamah Alkazab yang menyamar menjadi nabi palsu. Di Indonesia, Lia Eden, Ahmad Mosaddeq, keberadaanya hanyalah memberi warna pada kehidupan, semata untuk menguji sekuat mana keimanan kita. Dan sebetulnya jika kita konsisten memahami konsep nabi yaitu sebagai jembatan transis masa primitif ke rasioner, maka kita tidak memerlukan adanya Nabi lagi, karena selain Muhammad sebagai penutup semua nabi, juga masa sekarang sudah sangat maju dan rasioner untuk hadirnya konsep atau hadirnya seorang nabi.

Kumpulan Tulisan Filsafat Islam


Mengenal Konsep Nubuwwah (Kenabian)  dalam Berbagai Pandangan                
    *(Ocoh Adawiyah Aqidah dan Filsafat)

Nubuwwah (Kenabian) merupakan isu yang jarang diperdebatkan dikalangan umum. Namun teori kenabian dalam Islam telah sejak lama menjadi bahan perdebatan yang sangat dan belum berhenti sampai saat ini. Apalagi belakangan bermunculan orang yang dengan gamblang mendeklarasiakan dirinya sebagai Nabi. Semudah itukah menjadi seorang Nabi? Dalam kaitannya dengan hal tersebut,  tulisan ini akan dibahas secara singkat mengenai teori atau konsepsi kenabian ditilik dari segi filsafat maupun dari segi teologi.

Kata ”nubuwah” disebutkan dalam Al-Qur'an sebanyak 5 kali di beberapa surat. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nabi adalah orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan nabi. Jika di tinjau dari segi sosiologis, kenabian merupakan jembatan transisi dari  masa primitif menuju masa rasioner. Karena kedatangan seorang Nabi dalam hal ini selalu muncul di tengah-tengah masyarakat yang akhlaknya bobrok dan tak bermoral lalu kemidian muncul Nabi sebagai penerang dan utusan Tuhan yang mengarahkan pada jalan menyembah Tuhan. Menurut pandagan teologi Nabi adalah wajib adanya dan setiap umat islam harus mengimaninya.

Dalam ranah filsafat, teori kenabian memang dijadikan sebagai satu pembahasan penting. Bahkan dengan tegas fazlul Rahman mengatakan bahwa ciri yang paling urgen dalam filsafat islam adanya filsafat kenabian. Seperti al-Farabi mengkonspsikan nabi dalam sebuat tidak lepas dari unsur psilologis, metafisik, politis dan lain-lain. Ia menggambarkannya dengan kota idea sebuah kota (madinah) yang sangat teratur dan selaras. Dan pemimpin dalam hal ini nabi, mereka dapat berhubungan langsung dengan akal aktif. Dan paran Nabi ini mempunyai daya imaji yang kuat sehingga mereka dapat menerima wahyu. 

Seperti halnya al-Farabi, Ibnu Sina  dalam menjelaskan teori kenabian dia terpengaruh oleh konsepnya al-Farabi dengan  membagi akal manusia menjadi empat macam yaitu akal materil, intelektual, aktual dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal terendah adalah akal materiil. Dan adalalanya Tuhan menganugrahkan kepada kepada manusia akal materiil yang bersar lagi kuat, yang Ibnu Sina dibeeri nama al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya,sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal akif dan dengan mudah dapat cahaya dan wahyu dari Tuhan. Akal seperti ini dapat mempunyai daya suci.inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi. 

Telah kita ketahui dari paparan di atas, bahwa tidak semua orang dapat  nenjadi nabi hanya orang-orang tertentu saja piliha-Nya. Ada beberapa syarat kenabian. Pertama, menurut para ulama ahlusunnah waljama’ah nabi harus seorang laki-laki (Al-Anbiya: 7). Kedua, mendapat makrifat atau pengetahuan dari Tuhan yakni berupa wahyu. Ketiga, terpelihara dari perbuatan salah dan Allah pula menjaga seorang nabi dari perbuatan maksiat. Sedang menurut al-Farabi, seorang nabi harus mempunyai daya imajinasi yang tinggi, Dan lain-lain.

Dan untuk menanggapi berbagai penomena nabi palsu yang belakangan marak di beberapa negara termasuk Indonesia, Sebetulnya tidak perlu dirisaukan karena nabi Muhammad sendiri telah meramalkan bahwa dikemudian hari akan hadirnya penomena seperti itu. Dan sebetulnya sudah terjadi sejak masa sahabat, Musailamah Alkazab yang menyamar menjadi nabi palsu. Di Indonesia, Lia Eden, Ahmad Mosaddeq, keberadaanya hanyalah memberi warna pada kehidupan, semata untuk menguji sekuat mana keimanan kita. Dan sebetulnya jika kita konsisten memahami konsep nabi yaitu sebagai jembatan transis masa primitif ke rasioner, maka kita tidak memerlukan adanya Nabi lagi, karena selain Muhammad sebagai penutup semua nabi, juga masa sekarang sudah sangat maju dan rasioner untuk hadirnya konsep atau hadirnya seorang nabi.

aku

bukan

Jumat, 21 Desember 2012

Aliran-Aliran dalam Filsafat Islam





Dalam buku saku filsafat islam, Haidar Bagir membagi aliran-aliran filsafat islam menjadi lima aliran diantaranya:  pertama, teologi dialektik (Ilmu Kalam); kedua, peripatetisme (Masysya’ Iyyah); ketiga, Illuminisme, (Isyraqiyyah);  keempat, sufisme/Teosofi  (Tasawwuf atau ‘irfan);  kelima, Filsafat Hikmah, (Alhikmah Al-Mut’aliyyah).
Sesungguhnya, ada dua aspek untuk membedakan kelima aliran-aliran tersebut. Pertama, dari epistimologinya dan kedua, dari ontologinya. Epistimologi yang di gunakan dalam peripatetisme dan teologi dialektik hampir sama yaitu metode diskursif-logis hanyasaja teologi dialektik atau ilmu kalam berangkat dari kebenaran agama lalu kemudian mencari premis-premis untuk membuktikan kebenaran tersebut. Sedangkan peripatetisme berangkat dari kebenaran yang bersifat umum kmudian mendemonstrasionalkannya.
Adapun metode yang digunakan illuminisme dan sufisme atau teosofi (‘irfan) adalah metode intuitif atau experiensial, yaitu mengetahui seuatu adalah untuk memperoleh suatu pengalaman tentannya, kemudian di analisis dengan diskursif-demonstrasional. Bahkan dalam filsafat hikmah pengalaman intuitif itu memang sutu keharusan untuk di diskirsif-logiskan guna verifikasi pubik.
Untuk peripatetisme dan taswuf, kedua aliran ini belum sampai pada pembahsan ontologi hanya saja dalam peripatetisme pembahasannya lebih di tekankan pada kosmologi dan emanasi sebagai basisnya.  Sedang untuk irfan meggunakan ungkapan kesatuan atau hirarki wujud dalam ontologinya. Berbeda dengan illuminisme yang mengidentkan cahaya sebagai gambaran wujud, Dan prinsipialitas, kesatuan dan ambiguitas wujud untuk ontologi dalm filafat hikmah.
Akhirnya, untuk lebih memperjelas pemahaman kita tentang aliran-aliran filsafat maka akan dibahas secara mendalam, akan tetapi hanya berkisar pada tiga aliran seperti yang tertulis dibawah ini:
1.     Peripatetisme (Masysya’ Iyyah)
Peripatetisme adalah aliran filsafat yang bersifat Aristotelian dengan diskursif-demonstrasional sebagai ciri utamanya. Asal kata peripatetisme ini bermula dari kebiasaanya Plato gurunya Aristoteles yang sering kali berjalan mondar mandir (peripatos: bahasa Yunani) ketika mengajar dan diikuti terus oleh murid-muridnya, sehingga kemudian disebut sebagai filsafat peripatetisme. Sedangkan kata masyaiyah diambil dari kata dalam bahasa Arabnya.
Pada perkembangan berikutnya, pemikiran aliran ini ternyta selain sebagai pemikirannya Aristoteles (aristotelian) sekaligus pemikirannya plotinus dalam karyanya ennead yang disalahpahami sebagai karyanya Aristoteles. Namun dari kesalahpahaman tersebut ada keuntungan tersndiri bagi umat islam karna filsafat yang di kembangkan oleh Plotinus cenderung bersifat religius dan spiritual keagamaanya tinggi, hal ini bisa dibuktikan dengan konsep ketuhanannya (The One) jadi sejalan dengan pemahaman umat islam. Ia juga membawa konsepnya emanasi yang belakangan digunakan oleh para filosof islam.
Tokoh filsafat islam yang identik dengan peripatetisme adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain dan mereka menghasilkan pemikiran yang berbeda-beda contohnya Ibnu Sina dengan konsep emanasinya yang menjadi basis kosmologi yang Tuhan yang tunggal di identikan sebagai Intelek yang memancarkan atau beremanasi menjadi intelek dua, begitu seterusnya sehingga  terciptakanya berbagai materi yang ada di alam semesta ini.
2.     Filsafat Illuminisme (Israqiyyah)
Illuminisme adalah suatu pencerahan intelektual atau spiritual, biasanya dijabarkan sebagai suatu pemahaman yang datang secara tiba-tiba dan juga merupakan aliran filsafat yang di kenalkan pertama kali oleh Suhrawardi.
Sebelumnya, pemikiran Suhrawardi ini tidak terlalu di kenal apalagi di belahan Barat sana. Namun atas jasanya Hanri Corbin seorang orientalis yang memfokuskan penelitian pada Suhrawardi, akhirnya karyanya di publikasikan dan pemikirannya Suhrawardi dapat di kenal.
Suhrawardi mengatakan bahwa perinsip filsafat israqiyyah adalah mendapat pengalaman melalui pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasikan dan memferifikasikannya secara logis-rasiona.[1] Dalam filsafat emanasi setiap tingkatan di identikan dengan intelek maka dalam filsafat israqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut di identikan denagn cahaya (Nur).
3.     Filsafat hikmah.
Filsafat hikamah bisa disebut sebagi filsafat islam yang sesungguhnya atas jasanya Sadra yang telah memperkenalkan aliran ini. Lalu pertannyaanya kemudian kenapa ada anggapan bahwa filsafat hikmah bisa di sebut sebagai filsafat isalm yang sesungguhnya. Mungkin jawabanya simpel karna Mulla sadra telah mampu menginkomporasikan pemikiran-pemikiran sintetik dengan Al-Qur’an dan hadis yang posisinya sebagi sumber dari segala sumber hukum islam.
Setelah sebelumnya filsafat isalm taklagi dikenal pasca Ibnu Rush namun kemudian Suhrawardi dengan illuminismenya dan  Mulla Sadra dengan “Teosofi Transenden” telah memberikan konstribusi terbaru pada filsafat islam. Ciri dari  aliran ini hampir sama dengan yang lainnya yaitu menggunakan intuisi sebagai basis efistimologinya, namun intuisi disini lebih ditonjilkan bahkan bisa disebut sebagai satu-satunya daya untuk mencapai ilmu pengetahuan dan utuk menyampaikannya pada publik ia melakukan verifikasi secara diskursif-demonstrasional.









[1] Haidar Bagir, Buku saku Filsafat Islam. (Bandung: Mizan. 2006). Hlm.144

Hermeneutika Islam Mohammed Arkoun


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Hermeneutika merupakan sebuah penafsiran yang berasal dari mitologi Yunani. Secara lafdziah, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, Hermeneutikos, yang berarti penafsiran. Dan kemudian diadopsi oleh orang-orang kristen untuk menghadapi persoalan yang ada pada teks Bible. Sebagai sebuah ilmu, Hermeneutika tidak lepas dari sosial, kultural, politik. Dan pada perkembangan berikutnya di Barat, hermeneutika di jadikan sebagai sebuah aliran dalam filsafat. Jadi, hermeneutika adalah ilmu yang lahir dan berkembang di Yunani, Barat, dan Kristen.
Sementara, disisilain Islam telah melahirkan dan mengembangkan metodologi sendiri dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya literatur. Dan salah satu ilmu tentang al-Qur’an (Ulumul Qur’an) adalah disiplin ilmu yang masih digandrungi sampai saat ini. Dan dalam hal penafsiran, di islam sendiri  ada metode-metode penafsiran yang di geluti seperti metode tafsir maudhu’i, tahlili dan lainnya.
Dalam perkembangan berikutnya, islam mulai bersentuhan dengan orang-orang Barat dari teknologi, kebudayaan, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan. Dan beberapa pemikir modern muli memasukan mitodologi Barat pada penafsiran al-Qur’an. Termasuk hermeneutika didalamnya. Dengan tujuan supaya pemahaman orang-orang islam terhadap al-Qur’an mampu menghadapi isu-isu kontenporer yang ada. Beberapa tokoh yang terkenal dengan metodologi hermeneutika tersebut, seperti Fazlurrahman, Muhamed Arkoun, Farid Esack, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, dan lain-lain.
Dari beberapa nama tersebut, yang akan dibahas pada makalah ini adalah pandangan hermeneutika islam dengan tokoh Mohammed Arkoun, terkait bagaimana latar belakang hidup beliau, terutama pandangan beliau terhadap penafsiran al-Qur’an melalui metodologi hermeneutika akan di bahas pada makalah ini.
B.     Rumusan makalah

1.      Siapakah Mohammed Arokun dan bagaimana pemikirannya?
2.      Bagaimana hermeneutika islam Mohammed Arkoun?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Sosio dan Intelektual Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun dilahirkan pada 28 Februari 1928 di Tourit Mimoun, Kalibia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah Timur Alir, Aljajair.[1] Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
 Arkoun menyelesaikan pendidikan dasar di desa asalnya, pendidikan menengah dan pendidikan tingginya di tempuh di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat. Dia kemudian pindah ke Universitas Sorbonne dan meraih gelar  Phylosopy Doctoral pada tashun 1969 M. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai  agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA  (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta  memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Saat mendapftarkan diri sebagai mahasiswa di Universitas Sorbonne di Paris, bertepatan juga dengan masa perang pembebasan Aljazair dari Prancis (1954-1962). Dan kemudian menetap di Paris dan Pada  tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris,  sampai tahun 1969.[2]
Dari sejarah singkat kehidupan beliau, tampak bahwa berbagai tradisi dan kebudayaan menjadi faktor penting dalam membentuk cara berpikirnya. Hal itu akan semakin jelas jika kita mengarahkan perhatian kita pada bidang bahasa. Sejak kecil Arkoun telah terbiasa berbicara dan menulis secara intens dengan tiga bahasa, yakni bahasa Kalibia, Prancis, dan Arab. Bahasa Kalibia, digunakan dalam kehidupannya sehari-hari, bahasa Prancis pakai di sekolah dan dalam urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan di lingkungn mesjid dan dalam urusan yang berkaitan dengan islam.
Dengan penguasaan tiga bahasa ini, maka tidak heran jika kemudian Arkoun menaruh perhatian yang besar pada peranan bahasa dalam membentuk cara berpikir atau mempengaruhi pemikiran komunitas masyarakat. Dengan kata lain dari penguasaannya terhadap tiga bahasa tersebut, secara tidak langsung Arkoun telah merambah dan mewakili tiga budaya sekaligus yakni, Arab, Islam, dan Barat (khususnya Eropa). 
B.  Hermeneutika Islam Mohammed Arkoun
Dalam karyanya, Rethinking Islam (1994), semakin terlihat bahwa Arkoun mengkritisi pendekatan kaum militan yang melakukan idiologisasi dan pemistikan terhadap paham keislaman yang tumbuh dalam sejarah. Menurut Arkoun, dengan mengutip pendapat Clifford Geertz, untuk memahami islam, persoalan semiotis-kebahasaan mestinya memperoleh perhatian lebih dahulu sebelum kita memusatkan diri pada kajian teologis. Akibat kurang analisis historis-sosiologis terhadap islam maka al-Qur’an bisa kehilangan ataupun terputus dari konteks dan relevansi historisnya, sehingga studi keislaman selalu hadir dalam paket-paket produk ulama abad tengah yang saling terpisah, dan cenderung dianggap final.[3] 
Atas dasar inilah Arkoun mencoba membawa rekonstruksi yang baru dalam metode penafsiran al-Qur’an yaitu dengan metode hermeneutika. Di dunia islam, memang hermeneutika masih terlampau asing dan kadang nasibnya hampir sama dengan filsafat yaitu dianggap tidak sesuai dengan pemahaman islam. Hermeneutika dapat diartikan sebagai sebuah disiplin filsafat yang memusatkan kajiannya pada sebuah “understanding of understand” atau seni memahami sebuah teks. Hermeneuein yang berarti “menafsirkan” kata ini sering diasosiasiakan dengan nama seorang dewa Yunani, Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan kepada manusia.[4]
Arkoun, sebagai mana tokoh kontinuental yang menaruh perhatian pada bidang kajian hermeneutika, berpandangan bahwa sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Tiga elemen pokok hermeneutika pengarang, teks, dan pembaca. Masing-masing mempunyai dunianya sendiri sehingga hubungan antara ketiganya harus selalu bersifat dinamis, dialogis, dan terbuka. Karena tanpa adanya wacana yang terbuka dan dinamis sebuah tradisi akan kehilangan ruh. Dinamika dan kreatifitas dalam memahami agama sangat diperlukan, lebih-lebih jika teks dan tradisi datang dari kurun waktu, kultur, dan tempat yang berbeda. Sesungguhnya apa yang disebut sebagai pemahaman dan pengalaman agama sampai pada batas-batas tertentu merupakan refleksi dan penafsiran subjektif yang muncul dari proses dialog seseorang membaca dan memahami sebuah teks sesuai dengan kemampuan dan kecendrungan subjektifitasnya. Oleh karena itu sebuah teks yang sama, ketika dibaca ulang, bisa melahirkan pemahaman baru.[5]   
Kehadiran Mohammed Arkoun dengan memperkenalkan hermeneutika sebagai sebuah metodologi kritis, memberikan hasanah keilmuan baru bagi perkembangan islam. Terutama dengan menggunakan metode hermeneutika historis. Sebagaimana di paparkan diatas bahwa si pengarang, teks dan pembaca, tidak bisa lepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis dan konteks lainnya yang berkaitan dengan ruang dan waktu. Sehingga menurut Arkoun, untuk dapat memahami sejarah maka tidak cukup hanya dengan transfer makna, melainkan juga transformasi makna. Dan dalam hal ini al-Qur’an, sebagai kitb suci umat islam yang dituangkan dalam bahasa Arab hususnya. Dalam mengaktualisasikan pesan yang terkandung dalam al-Qur’an selalu saja berbeda-beda dalam penafsirannya.
Dengan cara pandang seperti ini, setidaknya muncul tiga kesimpulan ketika kita mendekati al-Qur’an dan tradisi keislaman. Pertama, sebagian kenbenaran dalam pernyataan al-Qur’an baru akan kelihatan dimasa depan. Kedua, kebenaran yang ada dalam al-Qur’an berlapis-lapis atau berdimensi majemuk sehingga plularitas pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an adalah hal yang lumrah atau bahkan dikehendaki oleh Qur’an itu sendiri. Ketiga, terdapat doktrin dan tradisi keislaman yang bersifat historis aksidental sehingga tidak ada salahnya untuk dipahami ulang dan diciptakan tradisi baru.[6]
Untuk menghindari kesalah pahaman dalam memahami sebuah teks atau sejarah yang dalam hal ini ada kaitannya dengan masa atau kultur yang melingkupi penurunan dan penulisan al-Qur’an. Maka akan dibahas bagaimana cara atau memahami al-Qur’an menurut Mohammed Arkoun.
B.     Cara Membaca Al-Qur’an Perspektif Mohammed Arkoun
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka :
1).  mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua literatur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku.
2).  Menetapkan suatu kriteriologi yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.
Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan-sebisa mungkin-aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment): suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis. Suatu saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim[7].
1.      Moment Linguistis Kritis
Dalam tahap linguistik, Arkoun mengawali bacaannya dengan memeriksa “tanda-tanda bahasa”. Setiap bahasa mempunyai “tanda-tanda bahasa” yang ikut memepengaruhi proses produksi makna. Karena “kanon resmi tertutup” ditulisa dalam bahsa Arab, maka “tanda-tanda bahasa” yang perlu diperhatikan adalah tanda-tanda bahasa Arab.   
Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina, dlomir), kata kerja (fi’il), sistem kata benda (ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. [8] Pemeriksaan  terhadap unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (act ants) yaitu prilaku yang melaksanakan suatu tindakan yang ada dalam suatu teks atau narasi. Dalam semiotika, analisis actantial mengembangkan fungsi-fungs sintaksis. Mula-mula analisis actantial berkembang dilingkungan pembaca dan analisis narasi. Dilihat dari kategori ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk mecari aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai. [9]
2.       Moment Antropologis: Analisis Mitis
Persoalan mendasar yang ingin dianalisis dengan mengguanakan disiplin antropologis adalah menyangkut beralihnya ujaran-ujanran lisan dari eacana kenabian ke wacana al-Qur’an yang kemudian dibakukan menjadi mushaf (yang dianggap) standar dan kemudian mejadi Korpus Resmi Tertutup . perralihan wacana seperti ini tentu mereduksi berbagai macam bacaan, indeks, dan bahkan makna yang terbuka dan luas menjadi suatu penafsiran yang logosentris yang sempit dan kaku. Ini berarti bahwa peraliran dari wacana kenabian yang bersfat orale (lisan) ke wacana masyarakat yang melek huruf dan pandai membaca dan menulis ternyata memunculkan masalah tersendiri.[10] Sebagai contoh pendekatan antrotologis dalam surat al-Fatihan, ayat yang berbunyi : ghairi al-magdhdhubi’alaihim waladhalin (bukan [jalannya] orang-orang yang dimurkai dan bukan [pula jalannya] orang-orang yang tersesat. Identik dengan tema sejarah spiritual kemanusiaan yang sangat mendasar, yakni tema-tema simbolis orang-orang yang di murkai Allah atau yang tersesat dari orang-orang terdahulu.  

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

·      Mohammed Arkoun dilahirkan pada 28 Februari 1928 di Tourit Mimoun, Kalibia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah Timur Alir, Aljajair. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara.
·         Cara pandangnya dalam hal berfikir terlihat dari kebudayaan yang melingkupinya. Diamana ia hidup mewakili tiga budaya secara tidak langsung yaitu Arab, Islam dan Barat.
·         Hermeneutika islam yang ditawarkannya adalah sebuah metode kritis. Untuk dapat terlepas dari doktrin atau pengaruh sosial, budaya, yang melekat pada sebagian sejarah islam yang ada.
·         Selain itu ia menawarrkan hermeneutika sebagai sebuah metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini bisa dilakukan dengan menganalisis pembacaan dalam al-Qur’an dengan tiga moment yaitu moment linguistik, moment antropologi dan kadangkala historis. 




DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Komarudin, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutikadalam Johan Henrik Meuleman (pen.), membahas Membaca Al-Qur’an bersama Muhammed Arkoun ( Yogyakarta: LkiS, 2012 )

Faiz ,Fahrudin, Hermeneutika Al-Qur’an “Tema-tema kontroversial” (eLSAQ Press, Yogyakarta: 2005)
Baidhowi, Antropologi Al-qur’an (Yogjakarta, LkiS, 2009 )




[1] Baidhowi, Antropologi Al-qur’an (Yogjakarta, LkiS, 2009 ) hlm. 01
[2] Baidhowi, Antropologi Al-qur’a,  Hlm. 03
[3]  Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutikadalam Johan Henrik Meuleman (pen.), membahas Membaca Al-Qur’an bersama Muhammed Arkoun ( Yogyakarta: LkiS, 2012 ), Hlm.33.
[4] Fahrudin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an “Tema-tema kontroversial” (eLSAQ Press, Yogyakarta: 2005), Hlm. 04.
[5] Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, hlm .36.
[6] Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, hlm. 39.
[8] St. Sunardi, “Membaca Qur’an bersama Arkoun”, dalam Johan Hendrik Meuleman, Membaca Al-Qur’an bersama Mohammed Arkoun (Yogyakarta: LkiS, 2012), hlm. 101.
[9] St. Sunardi, “Membaca Qur’an bersama Arkoun”, Hlm.106.
[10] Baidhowi, Antropologi Al-qur’a, hlm. 201.